Selasa, 24 September 2013

Mengintip Kehidupan Pengamen Kota Semarang, Suatu Kelompok yang Ter-marjinal[1]-kan

Oleh : Febrian Satya, Tri Haryanto[2]

Semarang Kota Metropolitan!

Jargon tersebut mengandung arti bahwa Kota Semarang mempunyai sarana prasarana yang dapat melayani seluruh aktivitas masyarakat kota dan hinterland-nya dengan aktivitas ekonomi utama berupa perdagangan, jasa, dan industri serta didukung sektor ekonomi lainnya untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera. Metropolitan juga mengandung makna dapat menjamin kehidupan masyarakatnya yang aman, tentram, lancar, asri, sehat dan berkelanjutan.[3]

Sangatlah wajar apabila dalam benak setiap orang membayangkan Semarang sebagai suatu kota besar, bersih, aman, sejahtera, dan penuh dengan gedung pencakar langit disetiap sudut kotanya, sesuai dengan jargon yang di gadang-gadangkan pemerintah daerah. Namun dalam setiap realitas kehidupan, das Sollen seringkali berbeda dengan das Sein[4]. Dalam hal ini, yang berperan sebagai das Sollen adalah jargon Kota Semarang sebagai kota metropolitan. Sedangkan das Sein-nya adalah fakta bahwa Kota Semarang belum bisa memenuhi salah satu unsur kota metropolitan yaitu mewujudkan masyarakat yang sejahtera.

Bukan suatu omong kosong apabila ada ungkapan “Pemerintah belum bisa mewujudkan masyarakat yang sejahtera”. Sangat jelas dilihat dengan kasat mata, masih banyak masyarakat pra-sejahtera ditengah riuh kehidupan kota. Salah satunya yang sering kita temui adalah pengamen jalanan. Banyaknya pengamen jalanan sebagi bagian dan penduduk kota semakin mempertegas ungkapan pengamen jalanan sebagai “kelompok yang termarjinalkan”. Walaupun jumlah mereka tidak sebading dengan penduduk lain yang rata-rata mempunyai status sejahtera, namun keberadaan pengamen jalanan tidak boleh luput dan perhatian kita.

Fenomena pengamen jalanan semakin merebak dan kini semakin banyak cara dan gaya mereka yang khas saat mengamen. Diantaranya ada pengamen anak muda yang berpenampilan nyentrik menggunakan pakaian hitam, bertato, rambut jabrik, dan menindik anggota tubuhnya agar terlihat menarik, ibu-ibu yang menggendong anak — walaupun tidak jelas anak kandung atau hanya anak sewaan - agar terlihat memelas dan dikasihani hingga pengamen Jathilan[5] yang melakukan aksinya saat lampu merah jalan raya menyala.

Perbedaan cara yang mereka pakai untuk mengamen itu sendiri ternyata memiliki alasan, tujuan, dan harapan yang berbeda. “Saya dulu pedagang, tapi gak pernah dapat untung Mas, akhirnya pindah jadi pemulung, dan sekarang jadi penyanyi” ungkap Sri, pengamen karaoke (red: pengamen yang menggunakan tape recorder) yang memulai karir mengamennya dengan menelusuri satu gerbong kereta ke gerbong kereta lainnya. Sri yang berasal dari Jawa Timur, mulai ber-migrasi ke Purwodadi untuk mengikuti suaminya. Sampai pada akhirnya Ia ditinggalkan oleh sang suami dengan seorang anak laki-laki yang kala itu masih berumur lima tahun.

Saat ini Sri tinggal di sebuah kamar kos yang terletak di daerah Pasar Johar. Ia memulai pekerjaannya mulai pagi-pagi hinga sore hari dengan rute Pasar Johar sampai ke Jalan Pahlawan. Sri yang merupakan single parent ini mempunyai tanggungjawab penuh atas kehidupannya anaknya. “Saya ingin punya rumah sendiri Mas. Kalau sudah punya rumah, saya mau dagang saja untuk menafkahi anak saya” ujar Sri.

Lain Sri, lain halnya dengan Felix, seorang pengamen dengan usia sangat muda yang tergabung dengan kelompok jathilan. Baginya, mengamen adalah kegiatan tambahan yang Ia lakukan untuk mencari uang tambahan dikarenakan uang yang Ia dapat dan orang tuanya dirasa belum cukup untuk memenuhi kebutuhannya. Selain itu, banyaknya waktu luang di luar jam kuliah juga menjadi alasan mengapa remaja ini ikut kelompok Jathilan untuk mengamen. “Saya ngamen buat cari uang jajan tambahan, juga ngisi waktu luang kalau lagi gak ada kuliah” Ucap mahasiswa Universitas Semarang Jurusan Ilmu Teknologi ini.

Kelompok Seni Jathilan pada dasarnya biasa mengisi acara seperti pesta pernikahan, Khitanan, atau perayaan lainnya. Namun karena minimnya tawaran untuk mengisi di acara-acara tersebut, akhirnya banyak Kelompok Seni Jathilan yang ‘turun’ ke jalan untuk mengamen dengan metode Jathilan yang akhirnya menyebabkan mereka akrab disebut sebagai ‘Pengamen Jathilan’.

Kelompok Seni Jathilan yang diikuti Felix ini berasal dari kota Yogyakarta dan mulai turun ke jalanan pada tahun 2008. Kendala terbesar yang meraka hadapi sebagai Pengamen Jathilan di kota yang akrab disebut dengan kota pelajar itu adalah banyaknya penertiban dan Satpol PP yang seringkali menyita barang-barang mereka dan tidak dikembalikan. Karena alasan itulah akhirnya kelompok Jathilan ini hijrah ke Semarang yang mereka anggap penertibannya tidak sebanyak di Jogja.

Mayoritas alasan mereka yang memutuskan untuk menjadi pengamen adalah karena masalah ekonomi. Minimnya lapangan pekerjaan dan rendahnya keahilan meraka menjadi alasan utama para pengamen itu turun sebagai penyanyi jalan yang menghibur para pengendara kendaraan bermotor saat lampu merah. Sebagian besar dari pengamen tersebut merupakan orang-orang yang hilang arah dalam menentukan tujuan hidupnya. Tujuan awal kedatangan mereka ke kota bukan lah untuk menjadi pengamen, namun adanya anggapan bahwa kota besar selalu bisa memuaskan kehidupan manusia menjadikan mereka berbondong-bondong merantau dari tempat asalnya menuju kota besar dengan harapan mendapatkan pekerjaan yang baik dan memenuhi kebutuhan khususnya kebutuhan ekonomi. Namun realita yang terjadi sangat jauh berbeda dengan harapan, mereka yang tidak mempunyai keahlian dan minimnya lapangan pekerjaan membuat mereka putus asa dan memilih menjadi pengamen jalanan sebagai mata pencaharian.

Sudah menjadi rahasia publik apabila masih banyak tugas dan tanggungjawab pemerintah yang belum dijalankan dengan baik, khususnya dalam hal melindungi warga Negara yang mengalami kesulitan ekonomi. Walaupun dalam Pasal 34 ayat (1) Undang — Undang Dasar 1945 jelas tetulis bahwa “Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh NEGARA” yang dalam konteks ini, Negara adalah Pemerintah yang menjalankan pemerintahan di Negara Indonesia. Maka dan itu sudah sangat jelas UUD 1945 memberikan amanah kepada pemerintah untuk melindungi dan memelihara fakir miskin.

Tidak akan menjadi selesai suatu permasalahan di Negeri ini apabila masyarakat hanya bisa mengeluh dan mengkritik pemerintah saja, perlu adanya campur tangan masyarakat untuk membantu menyelesaikannya. Fenomena pengamen jalanan bukan hanya permasalahan ekonomi saja, tapi juga termasuk masalah sosial dan keamanan. Dengan banyaknya pengamen, maka akan timbul banyak permasalahan lain seperti maraknya tindak pidana berkedok pengamen, koordinator gelap yang mengkoordinir pengamen jalanan, atau permasalahan pelecehan seksual yang dialami pengamen yang hidup dijalanan.

Dalam hal ini, masyarakat selain mengkritik pemerintah juga harus memberikan solusi. Pemerintah masih mempunyai tugas untuk membuka lapangan pekerjaan sebanyak-banyaknya untuk masyarakat agar tingkat pengangguran dan pengamen jalanan bisa menurun. Bukan hanya membuka lapangan pekerjaan saja, pemerintah juga bisa memberikan pelatihan untuk masyarakat yang tidak mempunyai keahlian apa — apa agar bisa bersaing di dunia kerja. Masyarakat sebagai manusia dengan jumlah tenbanyak juga mempunyai tanggungjawab moral untuk membantu sesama manusia. Bantuan yang dimaksud bukan bantuan berupa uang tunai, namun bantuan berupa membuka lapangan pekerjaan dengan ber-wirausaha atau membuat pelatihan- pelatihan kecil, minimal untuk masyarakat sekitar lingkungan tempat tinggal. Dengan demikian, adanya permasalahan sosial ini bisa diatasi bersama-sama secara seimbang antara pemerintah dengan masyarakat.




Edit by             : Farrach E[6]
Upload by        : Wisnu[7]
Publish by        : TM Dwiharyanto[8]





[1] Marginal adaah suatu kelompok yang jumlahnya sangat kecil atau bisa juga diartikan sebagai kelompok prasejahtera. Marjinal juga identik dengan masyarakat kecil atau kaum yang terpinggirkan, http://jamal-merdeka.biogspot.com/2012/10/apa-itu-kaum-marjinal-marginal.html , diunduh pada tanggal 15 September 2013 pukul 01.30
[2] Mahasiswa FH Undip dan Pengurus Aktif Nebula Indonesia (Organisasi Pecinta Lingkungan Fakultas Hukum Undip) 2013
[3] http://fdkotasemarang.org/article/37460/visi-kota-semarang-tahun-2025-semarang-kota-metropolitan-yang-religius-tertib-dan-berbudaya.html, diunduh pada tanggal 15 September pukul 01.46
[4] das Sollen berasal dari bahasa Jerman yang berarti “hal yang dicita-citakan” . das Sein adalah “keadaan yang sebenarnya pada waktu sekarang”. Prof.Dr.Sudikno Mertokusumo,SH, Mengenal HukumSuatu Pengantar(2008), hal. 15
[5] Jathilan adalah sebuah tarian drama yang menceritakan tentang pertempuran dua kelompok prajurit berkuda dan bersenjatakan pedang. Tarian ini biasanya mengangkat cerita-cerita babad tanah Jawa seperti, cerita Panji Ario Penangsang dan cerita lain era kerajaan Majapahit. Dalam penampilanya sang penari menggunakan sebuah kuda tiruan yang biasanya terbuat dari anyaman bambu dan disebut Kuda Kepang. Bak seorang kesatria yang gagah berani, para penari beraksi sambil menunggangi kuda tiruan tersebut dengan diiringi gamelan jawa. http://kridhoturonggoseto. blogspot.com/2013/04/arti-jathilan.html, diunduh pada tanggal 15 September 2013 pukul 02.02
[6] Mahasiswa Jurusan Hukum Internasional Fakultas Hukum Undip, Pengurus aktif Nebula Indonesia (Organisasi   Pecinta Lingkunan FH Undip) 2013, Pengurus Aktif Gema Keadilan (Lembaga Pers Mahasiswa FH Undip) 2013.

[7] Mahasiswa Jurusan Hukum Internasional Fakultas Hukum Undip, Pengurus aktif Nebula Indonesia (Organisasi   Pecinta Lingkunan FH Undip) 2013.

[8] Mahasiswa Fakultas Hukum Undip, Pengurus aktif Nebula Indonesia (Organisasi   Pecinta Lingkunan FH Undip) 2013, Pengurus aktif Laskar Nusakambangan.