Mengintip Kehidupan Pengamen
Kota Semarang, Suatu Kelompok yang Ter-marjinal[1]-kan
Oleh : Febrian Satya, Tri Haryanto[2]
Semarang Kota
Metropolitan!
Jargon
tersebut mengandung arti bahwa Kota Semarang mempunyai sarana prasarana yang
dapat melayani seluruh aktivitas masyarakat kota dan hinterland-nya
dengan aktivitas ekonomi utama berupa perdagangan, jasa, dan industri serta
didukung sektor ekonomi lainnya untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera.
Metropolitan juga mengandung makna dapat menjamin kehidupan masyarakatnya yang
aman, tentram, lancar, asri, sehat dan berkelanjutan.[3]
Sangatlah wajar apabila dalam benak setiap orang
membayangkan Semarang sebagai suatu kota besar, bersih, aman, sejahtera, dan
penuh dengan gedung pencakar langit disetiap sudut kotanya, sesuai dengan
jargon yang di gadang-gadangkan pemerintah daerah. Namun dalam setiap realitas
kehidupan, das Sollen seringkali
berbeda dengan das Sein[4].
Dalam hal ini, yang berperan sebagai das Sollen adalah jargon Kota Semarang
sebagai kota metropolitan. Sedangkan das Sein-nya adalah fakta bahwa Kota
Semarang belum bisa memenuhi salah satu unsur kota metropolitan yaitu
mewujudkan masyarakat yang sejahtera.
Bukan suatu omong kosong apabila ada ungkapan “Pemerintah
belum bisa mewujudkan masyarakat yang sejahtera”. Sangat jelas dilihat dengan
kasat mata, masih banyak masyarakat pra-sejahtera ditengah riuh kehidupan kota.
Salah satunya yang sering kita temui adalah pengamen jalanan. Banyaknya
pengamen jalanan sebagi bagian dan penduduk kota semakin mempertegas ungkapan
pengamen jalanan sebagai “kelompok yang termarjinalkan”. Walaupun jumlah mereka
tidak sebading dengan penduduk lain yang rata-rata mempunyai status sejahtera,
namun keberadaan pengamen jalanan tidak boleh luput dan perhatian kita.
Fenomena pengamen jalanan semakin merebak dan kini
semakin banyak cara dan gaya mereka yang khas saat mengamen. Diantaranya ada
pengamen anak muda yang berpenampilan nyentrik menggunakan pakaian hitam,
bertato, rambut jabrik, dan menindik anggota tubuhnya agar terlihat menarik,
ibu-ibu yang menggendong anak — walaupun tidak jelas anak kandung atau hanya
anak sewaan - agar terlihat memelas dan dikasihani hingga pengamen Jathilan[5] yang
melakukan aksinya saat lampu merah jalan raya menyala.
Perbedaan cara yang mereka pakai untuk mengamen itu
sendiri ternyata memiliki alasan, tujuan, dan harapan yang berbeda. “Saya dulu
pedagang, tapi gak pernah dapat untung Mas, akhirnya pindah jadi pemulung, dan
sekarang jadi penyanyi” ungkap Sri, pengamen karaoke (red: pengamen yang menggunakan
tape recorder) yang memulai karir mengamennya dengan menelusuri satu gerbong
kereta ke gerbong kereta lainnya. Sri yang berasal dari Jawa Timur, mulai
ber-migrasi ke Purwodadi untuk mengikuti suaminya. Sampai pada akhirnya Ia
ditinggalkan oleh sang suami dengan seorang anak laki-laki yang kala itu masih
berumur lima tahun.
Saat ini Sri tinggal di sebuah kamar kos yang
terletak di daerah Pasar Johar. Ia memulai pekerjaannya mulai pagi-pagi hinga
sore hari dengan rute Pasar Johar sampai ke Jalan Pahlawan. Sri yang merupakan
single parent ini mempunyai tanggungjawab penuh atas kehidupannya anaknya.
“Saya ingin punya rumah sendiri Mas. Kalau sudah punya rumah, saya mau dagang
saja untuk menafkahi anak saya” ujar Sri.
Lain Sri, lain halnya dengan Felix, seorang pengamen
dengan usia sangat muda yang tergabung dengan kelompok jathilan. Baginya,
mengamen adalah kegiatan tambahan yang Ia lakukan untuk mencari uang tambahan
dikarenakan uang yang Ia dapat dan orang tuanya dirasa belum cukup untuk
memenuhi kebutuhannya. Selain itu, banyaknya waktu luang di luar jam kuliah
juga menjadi alasan mengapa remaja ini ikut kelompok Jathilan untuk mengamen.
“Saya ngamen buat cari uang jajan tambahan, juga ngisi waktu luang kalau lagi
gak ada kuliah” Ucap mahasiswa Universitas Semarang Jurusan Ilmu Teknologi ini.
Kelompok Seni Jathilan pada dasarnya biasa mengisi
acara seperti pesta pernikahan, Khitanan, atau perayaan lainnya. Namun karena
minimnya tawaran untuk mengisi di acara-acara tersebut, akhirnya banyak
Kelompok Seni Jathilan yang ‘turun’ ke jalan untuk mengamen dengan metode
Jathilan yang akhirnya menyebabkan mereka akrab disebut sebagai ‘Pengamen
Jathilan’.
Kelompok Seni Jathilan yang diikuti Felix ini
berasal dari kota Yogyakarta dan mulai turun ke jalanan pada tahun 2008.
Kendala terbesar yang meraka hadapi sebagai Pengamen Jathilan di kota yang
akrab disebut dengan kota pelajar itu adalah banyaknya penertiban dan Satpol PP
yang seringkali menyita barang-barang mereka dan tidak dikembalikan. Karena
alasan itulah akhirnya kelompok Jathilan ini hijrah ke Semarang yang mereka
anggap penertibannya tidak sebanyak di Jogja.
Mayoritas alasan mereka yang memutuskan untuk
menjadi pengamen adalah karena masalah ekonomi. Minimnya lapangan pekerjaan dan
rendahnya keahilan meraka menjadi alasan utama para pengamen itu turun sebagai
penyanyi jalan yang menghibur para pengendara kendaraan bermotor saat lampu
merah. Sebagian besar dari pengamen tersebut merupakan orang-orang yang hilang
arah dalam menentukan tujuan hidupnya. Tujuan awal kedatangan mereka ke kota
bukan lah untuk menjadi pengamen, namun adanya anggapan bahwa kota besar selalu
bisa memuaskan kehidupan manusia menjadikan mereka berbondong-bondong merantau
dari tempat asalnya menuju kota besar dengan harapan mendapatkan pekerjaan yang
baik dan memenuhi kebutuhan khususnya kebutuhan ekonomi. Namun realita yang
terjadi sangat jauh berbeda dengan harapan, mereka yang tidak mempunyai
keahlian dan minimnya lapangan pekerjaan membuat mereka putus asa dan memilih menjadi
pengamen jalanan sebagai mata pencaharian.
Sudah menjadi rahasia publik apabila masih banyak
tugas dan tanggungjawab pemerintah yang belum dijalankan dengan baik, khususnya
dalam hal melindungi warga Negara yang mengalami kesulitan ekonomi. Walaupun
dalam Pasal 34 ayat (1) Undang — Undang Dasar 1945 jelas tetulis bahwa “Fakir
miskin dan anak terlantar dipelihara oleh NEGARA” yang dalam konteks ini, Negara
adalah Pemerintah yang menjalankan pemerintahan di Negara Indonesia. Maka dan
itu sudah sangat jelas UUD 1945 memberikan amanah kepada pemerintah untuk
melindungi dan memelihara fakir miskin.
Tidak akan menjadi selesai suatu permasalahan di
Negeri ini apabila masyarakat hanya bisa mengeluh dan mengkritik pemerintah
saja, perlu adanya campur tangan masyarakat untuk membantu menyelesaikannya.
Fenomena pengamen jalanan bukan hanya permasalahan ekonomi saja, tapi juga
termasuk masalah sosial dan keamanan. Dengan banyaknya pengamen, maka akan
timbul banyak permasalahan lain seperti maraknya tindak pidana berkedok
pengamen, koordinator gelap yang mengkoordinir pengamen jalanan, atau
permasalahan pelecehan seksual yang dialami pengamen yang hidup dijalanan.
Dalam hal ini, masyarakat selain mengkritik
pemerintah juga harus memberikan solusi. Pemerintah masih mempunyai tugas untuk
membuka lapangan pekerjaan sebanyak-banyaknya untuk masyarakat agar tingkat
pengangguran dan pengamen jalanan bisa menurun. Bukan hanya membuka lapangan
pekerjaan saja, pemerintah juga bisa memberikan pelatihan untuk masyarakat yang
tidak mempunyai keahlian apa — apa agar bisa bersaing di dunia kerja.
Masyarakat sebagai manusia dengan jumlah tenbanyak juga mempunyai tanggungjawab
moral untuk membantu sesama manusia. Bantuan yang dimaksud bukan bantuan berupa
uang tunai, namun bantuan berupa membuka lapangan pekerjaan dengan ber-wirausaha
atau membuat pelatihan- pelatihan kecil, minimal untuk masyarakat sekitar
lingkungan tempat tinggal. Dengan demikian, adanya permasalahan sosial ini bisa
diatasi bersama-sama secara seimbang antara pemerintah dengan masyarakat.
Edit by :
Farrach E[6]
Upload by :
Wisnu[7]
Publish by :
TM Dwiharyanto[8]
[1]
Marginal adaah suatu
kelompok yang jumlahnya sangat kecil atau bisa juga diartikan sebagai kelompok
prasejahtera. Marjinal juga identik dengan masyarakat kecil atau kaum yang
terpinggirkan,
http://jamal-merdeka.biogspot.com/2012/10/apa-itu-kaum-marjinal-marginal.html ,
diunduh pada tanggal 15 September 2013 pukul 01.30
[2]
Mahasiswa FH Undip dan
Pengurus Aktif Nebula Indonesia (Organisasi Pecinta Lingkungan Fakultas Hukum
Undip) 2013
[3] http://fdkotasemarang.org/article/37460/visi-kota-semarang-tahun-2025-semarang-kota-metropolitan-yang-religius-tertib-dan-berbudaya.html,
diunduh pada tanggal 15 September pukul 01.46
[4]
das Sollen berasal dari bahasa Jerman yang berarti “hal yang dicita-citakan” .
das Sein adalah “keadaan yang sebenarnya pada waktu sekarang”. Prof.Dr.Sudikno
Mertokusumo,SH, Mengenal Hukum—Suatu Pengantar(2008), hal. 15
[5]
Jathilan adalah sebuah
tarian drama yang menceritakan tentang pertempuran dua kelompok prajurit
berkuda dan bersenjatakan pedang. Tarian ini biasanya mengangkat cerita-cerita
babad tanah Jawa seperti, cerita Panji Ario Penangsang dan cerita lain era
kerajaan Majapahit. Dalam penampilanya sang penari menggunakan sebuah kuda
tiruan yang biasanya terbuat dari anyaman bambu dan disebut Kuda Kepang. Bak
seorang kesatria yang gagah berani, para penari beraksi sambil menunggangi kuda
tiruan tersebut dengan diiringi gamelan jawa. http://kridhoturonggoseto.
blogspot.com/2013/04/arti-jathilan.html, diunduh pada tanggal 15 September 2013
pukul 02.02
[6]
Mahasiswa Jurusan
Hukum Internasional Fakultas Hukum Undip, Pengurus aktif Nebula Indonesia
(Organisasi Pecinta Lingkunan FH Undip)
2013, Pengurus Aktif Gema Keadilan (Lembaga Pers Mahasiswa FH Undip) 2013.
[7]
Mahasiswa Jurusan
Hukum Internasional Fakultas Hukum Undip, Pengurus aktif Nebula Indonesia
(Organisasi Pecinta Lingkunan FH Undip)
2013.
[8]
Mahasiswa Fakultas Hukum
Undip, Pengurus aktif Nebula Indonesia (Organisasi Pecinta Lingkunan FH Undip) 2013, Pengurus
aktif Laskar Nusakambangan.