Setumpuk 'Tugas' yang diberikan oleh kami kepada mereka, calon penerus rumah ini
Satu yang beberapa tingkat lebih baik dari 13 yang lain
Adalah dia, wanita yang dengan kedua kakinya mampu berdiri tegak
Dia yang mampu mengerjakan soal dengan teramat baik
Dia yang tanpa mengeluh berkutat dengan hujan, carrier, tenda, ponco, dan tentu saja, lumpur
Tidak, dia bukan superhero, dia bukan wonderwoman
Dia bukan wanita segar bugar yang terbebas dari segala macam penyakit
Dia bukan wanita dengan fisik yang kuat
Yang mampu mendaki ribuan gunung, yang bisa tidak berkeringat saat membayar seri, yang bisa tidak gemetar berhadapan dengan kami, yang tidak bisa tidak mengeluarkan airmata saat keadaan teman-temannya memburuk
Tapi dia adalah wanita yang amat tangguh
Yang dengan tangan kecilnya berusaha merangkul seluruh keluarga barunya
Yang dengan segala ketidak mampuannya berusaha menjadi mampu
Dengan segala kelemahannya memberikan yang paling baik yang ia bisa beri
Dengan segala kerapuhannya berusaha terlalu keras untuk menjadi kuat
Dengan segala apa yang dia bisa, berjuang hingga batasnya
Ah..tinggal beberapa langkah lagi
Sangat disayangkan, memang
Sangat disayangkan, pasti
Melepas seorang Dian Lestari Hura
Ini adalah tulisannya
Hasil dari rangkaian aksara demi aksara yang dia susun untuk memenuhi tugasnya
Ini adalah tulisannya
Yang saya-sebagai pemateri nilai merupakan yang terbaik diantara yang lainnya
Dan postingan kali ini saya-secara pribadi dedikasikan kepada Dian
Cabul (Calon Nebula) yang paling saya sayangi
18 Jiwa
Gelap...dingin...diam..bertanya..menikmati..
Ini adalah kata-kata yang bisa menggambarkan
perasaan saya ketika menuju detik-detik manifestasi pelatihan yang selama ini
kami ikuti dalam satu moment cantik yaitu “survival”. Alasan saya menyebutnya
cantik adalah karena memang wilayah yang kami perkosa ketika survival itu cantik. Alami, berkarakter, jujur, dan
siap menjadi saksi untuk kami.
Gunung Pati. Hanya itu saja yang kusimpan dari
nama wilayah itu. Mengenal pribadinya dengan sedikit nama, lumayan menggelitik.
Tetapi lebih baik ketimbang mengenal nama tanpa tahu jiwanya. Nah, berbicara
tentang jiwa, ada jiwa yang sekuat tenaga bertahan di pinggiran Gunung itu.
Jumlahnya delapan belas jiwa. Menikmati apa yang ada adalah kunci utama untuk
berhasil menembus satu moment cantik itu.
Awalnya berjalan menyusuri bangunan kokoh
berukuran kira-kira 50 cm. Di kiri ada lubang yang indah, biasa kita sebut
jurang. Di kanan ada aliran lembut, biasa kita sebut sungai. Selanjutnya
tumpukan kayu dengan penopang besi penuh pengalaman menjadi penolong yang tulus
untuk kami bisa selamat menyebrangi aliran di bawahnya. Naik sedikit, tersandung sedikit, berkeringat
sedikit, gemetar sedikit, ketika itu kami berhenti untuk mengatur nafas agar
kembali kuat. Bertemu lagi dengan
tumpukan kayu perkasa, pemberian alam bagi kami untuk menyebrangi aliran terakhir.
Sampai pada tempat yang ditentukan. Mengikuti aturan main adalah kewajiban. Itu
yang kami lakukan ketika sampai di kediaman sementara kami. Dengan sedikit
pemanasan, dan wejangan dari panitia terpercaya, kami memulai semuanya.
Bivak, yang pertama sekali dipraktekkan. Hasrat
ingin tidur tertahan beberapa waktu sampai bivak nan megah selesai kami
persembahkan untuk kelompok kami.
Kita akan memilah-milah bagian yang akan saya
ceritakan satu-persatu. Mulai dari makan, bagian hidup paling dasar bagi
manusia termasuk kami, karena kami manusia.
Daun sehat, air yang luar biasa
segar, udang yang lincah, garam beryodium yang telah disiapkan, ubi pilihan,
permen berwarna coklat yang lumayan kecil, jamu terbaik, hingga buah yang masih
tersamar keberadaannya, menjadi pahlawan penyelamat jiwa ketika itu.
Selanjutnya saya akan bercerita tentang kegiatan
hebat yang kami lakukan. Dimulai menangkap udang di aliran bersahabat dan penuh
batu-batu penjaga. Meskipun tidak ada dalam materi yang kami pelajari selama
ini, kami berhasil menjaring beberapa dari mereka. Mencari makan hingga ke
bagian paling jauh yang kami bisa. Dan hasilnya, kami membawa cerita saja.
Berusaha menyalakan api sebisa mungkin. Ada pula hal-hal mengesankan dari
moment cantik itu. Beberapa yaitu, kedinginan bersama keluarga di satu bivak yang
lumayan menguras tenaga kami untuk bisa tetap sadar, menyusuri sungai bersama
keluarga, push-up di sungai, membentuk lingkaran bersama keluarga lalu
mencelupkan kepala ke dalam air, mengabadikan wajah-wajah kami ketika sampai di
air terjun “Curug Lawe”, dan itu semua hebat.
Dua hari dua malam, 12-14 Desember, kami menulis
cerita di tempat itu. Kami melukis rasa kami di tempat itu. Kami menyatakan
cinta kami untuk tempat itu. Kami bersahabat dengan tempat itu. Kami
berterimakasih untuk tempat itu. Banyak hal yang kami sadari, Pencipta yang
baik hati memberikan segalanya adalah bermanfaat bagi manusia, khususnya
delapan belas jiwa tadi. Menjaganya, melestarikannya, adalah kata-kata
sederhana tetapi berdampak besar. Dimanapun, kapanpun, dan bagaimanapun, sekuat
yang saya bisa, akan melakukan yang terbaik yang saya bisa. Itu adalah tekad
setelah kembali dari pinggiran indah itu. Delapan belas jiwa tadi berupaya
menjadi saudara terbaik dalam masa kesesakan. Itu bagus untuk perkembangan
jiwa-jiwa ini dimasa depan. Belajar untuk tidak egois dan memupuk minat pribadi
satu sama lain adalah pelajaran bagus dalam keluarga ini. Mengasihi satu sama
lain seperti diri sendiri, dengan tipe kasih yang rela berkorban. Menghargai waktu dan kesempatan, serta
mensyukuri apa yang telah ada.
Oleh: Hura Lestari Dian
Cabul #13
Kuatkan ikatan kalian
Jangan pernah lepas
Apapun yang terjadi
Apapun yang mereka katakan
Mereka selamanya adalah bagian darimu
Dan kamu selamanya bagian dari mereka
Kalian, 18 Jiwa
Testarosa Vanya D'visa
NI 12.12.T.09