Senin, 24 Februari 2014

Tribute to Dian

Ini adalah satu dari setumpuk kertas yang berada tepat di penghujung semesta
Setumpuk 'Tugas' yang diberikan oleh kami kepada mereka, calon penerus rumah ini
Satu yang beberapa tingkat lebih baik dari 13 yang lain

Adalah dia, wanita yang dengan kedua kakinya mampu berdiri tegak
Dia yang mampu mengerjakan soal dengan teramat baik
Dia yang tanpa mengeluh berkutat dengan hujan, carrier, tenda, ponco, dan tentu saja, lumpur
Tidak, dia bukan superhero, dia bukan wonderwoman
Dia bukan wanita segar bugar yang terbebas dari segala macam penyakit
Dia bukan wanita dengan fisik yang kuat
Yang mampu mendaki ribuan gunung, yang bisa tidak berkeringat saat membayar seri, yang bisa tidak gemetar berhadapan dengan kami, yang tidak bisa tidak mengeluarkan airmata saat keadaan teman-temannya memburuk
Tapi dia adalah wanita yang amat tangguh
Yang dengan tangan kecilnya berusaha merangkul seluruh keluarga barunya
Yang dengan segala ketidak mampuannya berusaha menjadi mampu
Dengan segala kelemahannya memberikan yang paling baik yang ia bisa beri
Dengan segala kerapuhannya berusaha terlalu keras untuk menjadi kuat
Dengan segala apa yang dia bisa, berjuang hingga batasnya
Ah..tinggal beberapa langkah lagi
Sangat disayangkan, memang
Sangat disayangkan, pasti
Melepas seorang Dian Lestari Hura



Ini adalah tulisannya
Hasil dari rangkaian aksara demi aksara yang dia susun untuk memenuhi tugasnya
Ini adalah tulisannya
Yang saya-sebagai pemateri nilai merupakan yang terbaik diantara yang lainnya
Dan postingan kali ini saya-secara pribadi dedikasikan kepada Dian
Cabul (Calon Nebula) yang paling saya sayangi




18 Jiwa

Gelap...dingin...diam..bertanya..menikmati..

Ini adalah kata-kata yang bisa menggambarkan perasaan saya ketika menuju detik-detik manifestasi pelatihan yang selama ini kami ikuti dalam satu moment cantik  yaitu “survival”. Alasan saya menyebutnya cantik adalah karena memang wilayah yang kami perkosa ketika survival itu cantik. Alami, berkarakter, jujur, dan siap menjadi saksi untuk kami.

Gunung Pati. Hanya itu saja yang kusimpan dari nama wilayah itu. Mengenal pribadinya dengan sedikit nama, lumayan menggelitik. Tetapi lebih baik ketimbang mengenal nama tanpa tahu jiwanya. Nah, berbicara tentang jiwa, ada jiwa yang sekuat tenaga bertahan di pinggiran Gunung itu. Jumlahnya delapan belas jiwa. Menikmati apa yang ada adalah kunci utama untuk berhasil menembus satu moment cantik itu.

Awalnya berjalan menyusuri bangunan kokoh berukuran kira-kira 50 cm. Di kiri ada lubang yang indah, biasa kita sebut jurang. Di kanan ada aliran lembut, biasa kita sebut sungai. Selanjutnya tumpukan kayu dengan penopang besi penuh pengalaman menjadi penolong yang tulus untuk kami bisa selamat menyebrangi aliran di bawahnya.  Naik sedikit, tersandung sedikit, berkeringat sedikit, gemetar sedikit, ketika itu kami berhenti untuk mengatur nafas agar kembali kuat.  Bertemu lagi dengan tumpukan kayu perkasa, pemberian alam bagi kami untuk menyebrangi aliran terakhir. Sampai pada tempat yang ditentukan. Mengikuti aturan main adalah kewajiban. Itu yang kami lakukan ketika sampai di kediaman sementara kami. Dengan sedikit pemanasan, dan wejangan dari panitia terpercaya, kami memulai semuanya.

Bivak, yang pertama sekali dipraktekkan. Hasrat ingin tidur tertahan beberapa waktu sampai bivak nan megah selesai kami persembahkan untuk kelompok kami.
Kita akan memilah-milah bagian yang akan saya ceritakan satu-persatu. Mulai dari makan, bagian hidup paling dasar bagi manusia termasuk kami, karena kami manusia. 
Daun sehat, air yang luar biasa segar, udang yang lincah, garam beryodium yang telah disiapkan, ubi pilihan, permen berwarna coklat yang lumayan kecil, jamu terbaik, hingga buah yang masih tersamar keberadaannya, menjadi pahlawan penyelamat jiwa ketika itu.

Selanjutnya saya akan bercerita tentang kegiatan hebat yang kami lakukan. Dimulai menangkap udang di aliran bersahabat dan penuh batu-batu penjaga. Meskipun tidak ada dalam materi yang kami pelajari selama ini, kami berhasil menjaring beberapa dari mereka. Mencari makan hingga ke bagian paling jauh yang kami bisa. Dan hasilnya, kami membawa cerita saja. Berusaha menyalakan api sebisa mungkin. Ada pula hal-hal mengesankan dari moment cantik itu. Beberapa yaitu, kedinginan bersama keluarga di satu bivak yang lumayan menguras tenaga kami untuk bisa tetap sadar, menyusuri sungai bersama keluarga, push-up di sungai, membentuk lingkaran bersama keluarga lalu mencelupkan kepala ke dalam air, mengabadikan wajah-wajah kami ketika sampai di air terjun “Curug Lawe”, dan itu semua hebat.

Dua hari dua malam, 12-14 Desember, kami menulis cerita di tempat itu. Kami melukis rasa kami di tempat itu. Kami menyatakan cinta kami untuk tempat itu. Kami bersahabat dengan tempat itu. Kami berterimakasih untuk tempat itu. Banyak hal yang kami sadari, Pencipta yang baik hati memberikan segalanya adalah bermanfaat bagi manusia, khususnya delapan belas jiwa tadi. Menjaganya, melestarikannya, adalah kata-kata sederhana tetapi berdampak besar. Dimanapun, kapanpun, dan bagaimanapun, sekuat yang saya bisa, akan melakukan yang terbaik yang saya bisa. Itu adalah tekad setelah kembali dari pinggiran indah itu. Delapan belas jiwa tadi berupaya menjadi saudara terbaik dalam masa kesesakan. Itu bagus untuk perkembangan jiwa-jiwa ini dimasa depan. Belajar untuk tidak egois dan memupuk minat pribadi satu sama lain adalah pelajaran bagus dalam keluarga ini. Mengasihi satu sama lain seperti diri sendiri, dengan tipe kasih yang rela berkorban.  Menghargai waktu dan kesempatan, serta mensyukuri apa yang telah ada.


Oleh: Hura Lestari Dian
Cabul #13












Kuatkan ikatan kalian
Jangan pernah lepas
Apapun yang terjadi
Apapun yang mereka katakan

Mereka selamanya adalah bagian darimu
Dan kamu selamanya bagian dari mereka
Kalian, 18 Jiwa








Testarosa Vanya D'visa
NI 12.12.T.09     
          

Tidak ada komentar:

Posting Komentar