Sudah bertahun-tahun Indonesia berdiri. Bertahun-tahun pula
hukum yang berdasarkan “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia” itu di
idam-idamkan. Kenyataannya hingga kini tak kunjung dirasakan oleh rakyat negri
ini. Dari sejak berdirinya Indonesia, para pendiri bangsa telah memikirkan
bagaimana mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Salah satunya adalah
pentingnya pemanfaatan sumber daya alam (SDA) secara lestari seperti yang
tertuang dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945 “Bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan utuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Arti dari pasal di atas adalah kekayaan yang ada di bumi
Indonesia harus digunakan sebaik-baiknya bukan hanya untuk generasi saat ini
tetapi juga untuk anak cucu kita nantinya. Ini adalah tugas berat bagi negara
agar dapat membagi kemakmuran yang bersumber dari SDA agar tidak hanya untuk
generasi saat ini tetapi juga dapat bertahan hingga generasi selanjutnya.
Dalam menciptakan kemakmuran bersama sudah seharusnya tetap
memperhatikan pembangunan yang berwawasan lingkungan. Seperti yang kita ketahui
bahwa hak untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat telah tercantum
dalam undang-undang (UU). Itu berarti negara wajib menyediakan lingkungan yang
baik dan sehat kepada tiap warga negaranya.
Dengan dikeluarkannya UU no. 32 tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menggantikan UU no. 23 tahun 1997
tentang Lingkungan Hidup seharusnya adalah bentuk langkah serius pemerintah.
Serius yang dimaksud adalah menjaga lingkungan hidup dari berbagai ancaman yang
terjadi. Harapannya UU tersebut mampu menyelesaikan masalah-masalah lingkungan
yang tidak pernah terselesaikan dengan baik. Tetapi pada kenyataannya krisis
lingkungan yang terus meningkat serta banyaknya sengketa lingkungan hidup yang
berujung bebas menjadi pertanda buruk yang mengancam eksistensi lingkungan dan
manusia. Salah satu problem mendasar adalah lemahnya konstitusi hukum yang
berdampak pada ketaatan lingkungan yang rendah.
Salah satunya terlihat dalam pasal 26 ayat (2) bahwa
”Pelibatan masyarakat harus dilakukan berdasarkan prinsip pemberian informasi
yang transparan dan lengkap serta diberitahukan sebelum kegiatan dilaksanakan”.
Dalam pasal ini, tidak diikuti penjelasan seperti apa dan bagaimana bentuk
informasi secara lengkap tersebut dan upaya hukum apa yang dapat dilakukan bila
hal tersebut tidak dilakukan, begitupula dalam ayat (4) “Masyarakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan keberatan terhadap dokumen AMDAL” juga
tidak diikuti penjelasan sehingga dapat menimbulkan kerancuan dalam hal yang
seperti apa masyarakat menolak dokumen tersebut.
AMDAL adalah kajian mengenai dampak besar dan penting untuk
pengambilan keputusan suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada
lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang
penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan (Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1999
tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan). Dalam kebanyakan kasus sengketa
lingkungan hidup, yang sering diperdebatkan adalah transparasi pembuatan proses
AMDAL. Banyak proses pembuatan AMDAL yang dirasa janggal dan tidak transparan.
Padahal AMDAL merupakan suatu dokumen yang sangat penting sebelum perusahaan
melakukan kegiatan. Seharusnya penyusunan AMDAL harus ilmiah dan perlu
kajian yang sangat mendalam dan disusun oleh konsultan yang memiliki
kredibilitas dan kapasitas yang bagus. Penyusunan AMDAL juga seharusnya
melibatkan masyarakat penerima dampak langsung dan tidak langsung. Pada
kenyataannya keterlibatan masyarakat dalam proses pembentukan AMDAL masih
sangat minim. Hal itu dikarenakan sosialisasi yang masih kurang dari pemerintah
kepada masyarakat. Padahal tingkat pengetahuan masyarakat dalam memahami
undang-undang masih sangat rendah. Apalagi masyarakat desa yang selama
ini paling sering terlibat dalam sengketa lingkungan hidup. Hal hal seperti
inilah yang seharusnya menjadi perhatian kita bersama untuk mengawal
implementasi dari UU No. 32 tahun 2009. Bukan hanya orang-orang yang
berkepentingan saja tetapi semua elemen masyarakat mulai dari mahasiswa hingga
buruh tani.
Contoh positif di lakukan oleh kelompok mahasiswa pecinta
lingkungan Fakultas Hukum UNDIP. Dengan bekal keberanian dan kecintaannya
terhadap lingkungan hidup mereka berteriak lantang menolak pembangunan PLTU
Batang yang dirasa mengancam kelestarian lingkungan dan hajat hidup orang
banyak. Mahasiswa yang dianggap sebagai kaum intelektual seharusnya mampu
mengambil peranan penting dalam mengawal jalannya sebuah Undang-Undang,
sehingga dapat berjalan sebagaimana mestinya.
Dengan adanya UUPPLH khususnya pasal 66 akan memberikan rasa
aman bagi orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup dari kemungkinan
tuntutan pidana dan perdata. Di masa sebelum adanya UU ini banyak kasus dimana
perusahaan yang diduga telah mencemari atau merusak lingkungan hidup kemudian
menggugat si pelapor atau pemberi informasi dugaan terjadinya masalah-masalah
lingkungan dengan tujuan untuk menimbulkan rasa takut dan kerugian materiil
terhadap pelapor atau pemberi informasi maupun terhadap pihak-pihak lain di
masa datang. Harapannya dengan di muatnya pasal semacam ini akan memberikan
keberanian tersendiri bagi masyarakat dan para pejuang lingkungan untuk tetap
menjaga kelestarian lingkungan dari ancaman-ancaman yang ada.
Kita rakyat Indonesia sebagai pihak yang paling berwenang,
yang mendambakan peningkatan kesejahteraan hidup, tanpa membebani
lingkungan saat ini dan di masa yang akan datang. Namun rakyat bukanlah pemeran
utama dalam perebutan SDA dan lingkungan di Indonesia saat ini. Pemerintah,
pengusaha, dan negara asing-lah yang saling sikut beradu strategi dalam
menentukan nasib kekayaan alam dan lingkungan Indonesia yang notabene adalah
hak kita dan generasi mendatang.
Kementerian Lingkungan Hidup sebagai pihak yang berwenang
diberikan kewenangan yang sangat luas dalam UU PPLH. Namun demikian, Kementrian
yang dipimpin oleh Prof. Dr. Balthasar Kambuaya, M.B.A. juga diberikan tanggung
jawab besar untuk mengatur pelaksanaan ke-13 instrumen dalam UU PPLH yang
digunakan untuk mencegah pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup melalui
penyusunan Peraturan Pemerintah (PP).
Tugas ini tidak mudah, mengingat bahwa UU PPLH ini disusun
atas inisiatif DPR periode yang lalu, bukan atas inisiatif kementrian yang
bersangkutan (pemerintah) sendiri, sehingga penafsiran pasal-pasalnya
membutuhkan diskusi dengan berbagai pihak yang berkompeten. Kesulitan penuangan
pasal-pasalnya dalam bentuk Peraturan Pemerintah juga terbentur oleh
tujuan besar pemerintah saat ini yang menginginkan terciptanya iklim investasi
yang ramah. Disamping itu beberapa “anomali” dalam UU tersebut akan mempersulit
penyusunan PP yang diharapkan “galak” terhadap para perusak lingkungan hidup.
Pada akhirnya semua tergantung pada keseriusan pemerintah
dalam memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya tanpa membebani lingkungan
hidup sesuai yang diamanatkan Undang-Undang. Kita sebagai pihak yang
“dimanjakan” memiliki kewajiban untuk terus memberikan dukungan yang positif
dengan cara memantau bagaimana kekayaan alam kita dikelola dengan baik dan
benar untuk kepentingan kita sendiri dan generasi yang akan datang.
Oleh :
NI 10 11 A 03
Wisnu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar