Senin, 10 Februari 2014

Undang - Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup untuk Generasi Esok




Sudah bertahun-tahun Indonesia berdiri. Bertahun-tahun pula hukum yang berdasarkan “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia” itu di idam-idamkan. Kenyataannya hingga kini tak kunjung dirasakan oleh rakyat negri ini. Dari sejak berdirinya Indonesia, para pendiri bangsa telah memikirkan bagaimana mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Salah satunya adalah pentingnya pemanfaatan sumber daya alam (SDA) secara lestari seperti yang tertuang dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945 “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan utuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

Arti dari pasal di atas adalah kekayaan yang ada di bumi Indonesia harus digunakan sebaik-baiknya bukan hanya untuk generasi saat ini tetapi juga untuk anak cucu kita nantinya. Ini adalah tugas berat bagi negara agar dapat membagi kemakmuran yang bersumber dari SDA agar tidak hanya untuk generasi saat ini tetapi juga dapat bertahan hingga generasi selanjutnya.

Dalam menciptakan kemakmuran bersama sudah seharusnya tetap memperhatikan pembangunan yang berwawasan lingkungan. Seperti yang kita ketahui bahwa hak untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat telah tercantum dalam undang-undang (UU). Itu berarti negara wajib menyediakan lingkungan yang baik dan sehat kepada tiap warga negaranya.

Dengan dikeluarkannya UU no. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menggantikan UU no. 23 tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup seharusnya adalah bentuk langkah serius pemerintah. Serius yang dimaksud adalah menjaga lingkungan hidup dari berbagai ancaman yang terjadi. Harapannya UU tersebut mampu menyelesaikan masalah-masalah lingkungan yang tidak pernah terselesaikan dengan baik. Tetapi pada kenyataannya krisis lingkungan yang terus meningkat serta banyaknya sengketa lingkungan hidup yang berujung bebas menjadi pertanda buruk yang mengancam eksistensi lingkungan dan manusia. Salah satu problem mendasar adalah lemahnya konstitusi hukum yang berdampak pada ketaatan lingkungan yang rendah.

Salah satunya terlihat dalam pasal 26 ayat (2) bahwa ”Pelibatan masyarakat harus dilakukan berdasarkan prinsip pemberian informasi yang transparan dan lengkap serta diberitahukan sebelum kegiatan dilaksanakan”. Dalam pasal ini, tidak diikuti penjelasan seperti apa dan bagaimana bentuk informasi secara lengkap tersebut dan upaya hukum apa yang dapat dilakukan bila hal tersebut tidak dilakukan, begitupula dalam ayat (4) “Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan keberatan terhadap dokumen AMDAL” juga tidak diikuti penjelasan sehingga dapat menimbulkan kerancuan dalam hal yang seperti apa masyarakat menolak dokumen tersebut.

AMDAL adalah kajian mengenai dampak besar dan penting untuk pengambilan keputusan suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan (Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan). Dalam kebanyakan kasus sengketa lingkungan hidup, yang sering diperdebatkan adalah transparasi pembuatan proses AMDAL. Banyak proses pembuatan AMDAL yang dirasa janggal dan tidak transparan. Padahal AMDAL merupakan suatu dokumen yang sangat penting sebelum perusahaan melakukan kegiatan. Seharusnya penyusunan AMDAL  harus ilmiah dan perlu kajian yang sangat mendalam dan disusun oleh konsultan yang memiliki kredibilitas dan kapasitas yang bagus. Penyusunan AMDAL juga seharusnya melibatkan masyarakat  penerima dampak langsung dan tidak langsung. Pada kenyataannya keterlibatan masyarakat dalam proses pembentukan AMDAL masih sangat minim. Hal itu dikarenakan sosialisasi yang masih kurang dari pemerintah kepada masyarakat. Padahal tingkat pengetahuan masyarakat dalam memahami undang-undang masih sangat rendah.  Apalagi masyarakat desa yang selama ini paling sering terlibat dalam sengketa lingkungan hidup. Hal hal seperti inilah yang seharusnya menjadi perhatian kita bersama untuk mengawal implementasi dari UU No. 32 tahun 2009. Bukan hanya orang-orang yang berkepentingan saja tetapi semua elemen masyarakat mulai dari mahasiswa hingga buruh tani.

Contoh positif di lakukan oleh kelompok mahasiswa pecinta lingkungan Fakultas Hukum UNDIP. Dengan bekal keberanian dan kecintaannya terhadap lingkungan hidup mereka berteriak lantang menolak pembangunan PLTU Batang yang dirasa mengancam kelestarian lingkungan dan hajat hidup orang banyak. Mahasiswa yang dianggap sebagai kaum intelektual seharusnya mampu mengambil peranan penting dalam mengawal jalannya sebuah Undang-Undang, sehingga dapat berjalan sebagaimana mestinya.

Dengan adanya UUPPLH khususnya pasal 66 akan memberikan rasa aman bagi orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup dari kemungkinan tuntutan pidana dan perdata. Di masa sebelum adanya UU ini banyak kasus dimana perusahaan yang diduga telah mencemari atau merusak lingkungan hidup kemudian menggugat si pelapor atau pemberi informasi dugaan terjadinya masalah-masalah lingkungan dengan tujuan untuk menimbulkan rasa takut dan kerugian materiil terhadap pelapor atau pemberi informasi maupun terhadap pihak-pihak lain di masa datang. Harapannya dengan di muatnya pasal semacam ini akan memberikan keberanian tersendiri bagi masyarakat dan para pejuang lingkungan untuk tetap menjaga kelestarian lingkungan dari ancaman-ancaman yang ada.

Kita rakyat Indonesia sebagai pihak yang paling berwenang,  yang mendambakan peningkatan kesejahteraan hidup, tanpa membebani lingkungan saat ini dan di masa yang akan datang. Namun rakyat bukanlah pemeran utama dalam perebutan SDA dan lingkungan di Indonesia saat ini. Pemerintah, pengusaha, dan negara asing-lah yang saling sikut beradu strategi dalam menentukan nasib kekayaan alam dan lingkungan Indonesia yang notabene adalah hak kita dan generasi mendatang.

Kementerian Lingkungan Hidup sebagai pihak yang berwenang diberikan kewenangan yang sangat luas dalam UU PPLH. Namun demikian, Kementrian yang dipimpin oleh Prof. Dr. Balthasar Kambuaya, M.B.A. juga diberikan tanggung jawab besar untuk mengatur pelaksanaan ke-13 instrumen dalam UU PPLH yang digunakan untuk mencegah pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup melalui penyusunan Peraturan Pemerintah (PP).

Tugas ini tidak mudah, mengingat bahwa UU PPLH ini disusun atas inisiatif DPR periode yang lalu, bukan atas inisiatif kementrian yang bersangkutan (pemerintah) sendiri, sehingga penafsiran pasal-pasalnya membutuhkan diskusi dengan berbagai pihak yang berkompeten. Kesulitan penuangan pasal-pasalnya dalam bentuk Peraturan Pemerintah  juga terbentur oleh tujuan besar pemerintah saat ini yang menginginkan terciptanya iklim investasi yang ramah. Disamping itu beberapa “anomali” dalam UU tersebut akan mempersulit penyusunan PP yang diharapkan “galak” terhadap para perusak lingkungan hidup.

Pada akhirnya semua tergantung pada keseriusan pemerintah dalam memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya tanpa membebani lingkungan hidup sesuai yang diamanatkan Undang-Undang. Kita sebagai pihak yang “dimanjakan” memiliki kewajiban untuk terus memberikan dukungan yang positif dengan cara memantau bagaimana kekayaan alam kita dikelola dengan baik dan benar untuk kepentingan kita sendiri dan generasi yang akan datang.










Oleh :
NI 10 11 A 03
Wisnu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar